Cinta dan kasih sayang adalah perasaan yang Allah Ta'ala karuniakan kepada hambanya. Seorang ibu mempunyai perasaan itu kepada anaknya, oleh karena itu dia rela menahan kantuk agar anaknya dapat menyusui sampai kenyang dan terlelap. Seorang ayah rela berpeluh keringat dan membanting tulang agar dia dapat menafkahi istri dan anak anaknya. Jika saya berikan contoh tentang hal ini, mungkin tulisan ini akan memakan halaman yang sangat panjang.
Tulisan ini terinspirasi oleh tweet seorang praktisi parenting. Beliau memberi tweet berseri (istilah di dunia mayanya kultwit atau kultweet) bertema salah kaprah tentang cinta. Agar tidak lupa dalam ingatan, ada baiknya saya tuliskan intisarinya di blog ini. Dan tulisan ini terutama ditujukan untuk diri sendiri.
Intisari ini dimulai dengan contoh penerapan cinta yang biasa dilakukan oleh orang tua:
-Ada orang tua yang selalu menuntun anak dalam melakukan aktifitas mulai dari mandi, menyuapkan makan, menyiapkan buku pelajarannya, bahkan si anak bermain di tanah halaman belakang pun dilarang dengan alasan nanti kotor dan lain sebagainya. Mengapa orang tua melakukan itu? jawabnya dengan alasan cinta.
-Ada orang tua yang selalu menyanggupi dan memberikan apa saja yang diminta anaknya mulai dari makanan lezat, mainan termahal, dan seterusnya. Mengapa orang tua selalu membelikannya? jawabnya karena cinta dan sayang sama anak.
-Ada orang tua yang bekerja keras agar anaknya bisa sekolah tinggi di sekolah yang terbaik (baca : termahal), mendaftarkan anaknya berbagai kursus dan les tambahan agar anaknya mendapatkan nilai akademis yang baik dan skill yang mumpuni. Mengapa orang tua rela mengeluarkan banyak uang untuk itu? jawabnya karena cinta sama anak.
Ada banyak contoh lagi penerapan yang tidak saya sebut satu persatu. Sebenarnya sah saja jika orang tua melakukan hal itu, mungkin saja kaca mata yang dipakai untuk memandang sesuatu hal itu berbeda. Saya sempat menyinggung tentang cara pandang atau kaca mata yang dipakai ini ketika menentukan skala prioritas belajar untuk anak
Tidak bosan saya mengulang bahwa di blog ini, kacamata yang dipakai adalah kacamata syar'i. Sehingga tiga hal di atas dapat dipandang dari sisi syar'i. Adapun mengenai contoh yang pertama, adalah sangat bagus bagi orang tua untuk mendidik dan menuntun anaknya (memberi instruksi pada anaknya). Akan tetapi, jika orang tua sayang kepada anaknya dengan sebenar benar sayang, maka setelah anak akan dan sudah memasuki fase tamyiz, latihlah sang anak untuk bekerja sendiri, makan sendiri, mandi sendiri, menyiapkan keperluan mereka sendiri. Cobalah merangsang mereka untuk mengambil keputusan sendiri. Contoh sederhananya adalah dengan metoda bertanya kepada mereka,"siang ini mau murojaah hapalan dulu atau tidur siang dulu?". Atau,"sabtu depan mau main ke taman atau ke toko buku?" dan seterusnya.
Praktekkan selagi dini, orang tua harus sabar jika sang anak masih belum sempurna mengerjakan sesuatu (namanya juga latihan), Insya Allah nanti terbiasa. Dengan itu, mereka terlatih untuk mandiri dan belajar mengambil keputusan sendiri.
Mengenai contoh yang kedua, lagi lagi sebenarnya adalah bagus untuk menerapkan itu. Akan tetapi cobalah berlatih untuk tidak selalu memberikan apa saja yang diminta anak. Walaupun orang tua sebenarnya memiliki uang yang banyak, tapi jika orang tua mencintai anaknya dengan sebenar benar cinta, maka orang tua harus melatih sang anak untuk menghadapi kehidupan nyata. Oleh karena ketika mereka sudah lepas dari kita sebab merantau untuk sekolah atau yang lainnya, mereka akan menemukan bahwa tidak selalu keinginan mereka itu terpenuhi seketika, kadang melalui tangisan perjuangan yang panjang bahkan kadang mereka tidak mendapatkannya sama sekali.
Jika orang tua membiasakan menanamkan Tauhid sejak dini, berlatih untuk menahan memberikan apa apa saja permintaan anak, dan seterusnya, maka mereka menghadapi hal di atas dengan ketangguhan dan kesabaran serta tidak berputus asa dari rahmat Allah Ta'ala.
Terakhir, tentang contoh ketiga. Sekali lagi, saya tidak menampik hal ini sebab jika orang tua mampu membiayai pendidikan anak setinggi tingginya kenapa tidak? Tapi, seperti yang sudah disebutkan di awal, kacamata syar'i lah yang dipakai. Ketika kita serius menyiapkan mereka agar mereka siap hidup di masa depan mereka, ada sebuah pertanyaan fundamental,"apakah orang tua sudah mempersiapkan sang anak bekal untuk kehidupan akhirat?" Jika orang tua cinta dengan sebenar benar cinta dan kasih sayang, maka seharusnya mereka lebih sibuk untuk mempersiapkan "masa depan" mereka di akhirat yaitu masa depan sesungguhnya. Orang tua bersama anak berusaha bersama agar mereka berhasil di masa depan sesungguhnya, yaitu bersama sama berkumpul di surga di kampung akhirat nanti.
Itulah hakikat cinta sejati, kecintaan tidak hanya untuk kepentingan di dunia, namun juga di akhirat. Perasaan yang harus terus dipupuk, dipelihara, dan diimplementasikan dalam kerangka syar'i.
Tulisan ini terinspirasi oleh tweet seorang praktisi parenting. Beliau memberi tweet berseri (istilah di dunia mayanya kultwit atau kultweet) bertema salah kaprah tentang cinta. Agar tidak lupa dalam ingatan, ada baiknya saya tuliskan intisarinya di blog ini. Dan tulisan ini terutama ditujukan untuk diri sendiri.
Intisari ini dimulai dengan contoh penerapan cinta yang biasa dilakukan oleh orang tua:
-Ada orang tua yang selalu menuntun anak dalam melakukan aktifitas mulai dari mandi, menyuapkan makan, menyiapkan buku pelajarannya, bahkan si anak bermain di tanah halaman belakang pun dilarang dengan alasan nanti kotor dan lain sebagainya. Mengapa orang tua melakukan itu? jawabnya dengan alasan cinta.
-Ada orang tua yang selalu menyanggupi dan memberikan apa saja yang diminta anaknya mulai dari makanan lezat, mainan termahal, dan seterusnya. Mengapa orang tua selalu membelikannya? jawabnya karena cinta dan sayang sama anak.
-Ada orang tua yang bekerja keras agar anaknya bisa sekolah tinggi di sekolah yang terbaik (baca : termahal), mendaftarkan anaknya berbagai kursus dan les tambahan agar anaknya mendapatkan nilai akademis yang baik dan skill yang mumpuni. Mengapa orang tua rela mengeluarkan banyak uang untuk itu? jawabnya karena cinta sama anak.
Ada banyak contoh lagi penerapan yang tidak saya sebut satu persatu. Sebenarnya sah saja jika orang tua melakukan hal itu, mungkin saja kaca mata yang dipakai untuk memandang sesuatu hal itu berbeda. Saya sempat menyinggung tentang cara pandang atau kaca mata yang dipakai ini ketika menentukan skala prioritas belajar untuk anak
Tidak bosan saya mengulang bahwa di blog ini, kacamata yang dipakai adalah kacamata syar'i. Sehingga tiga hal di atas dapat dipandang dari sisi syar'i. Adapun mengenai contoh yang pertama, adalah sangat bagus bagi orang tua untuk mendidik dan menuntun anaknya (memberi instruksi pada anaknya). Akan tetapi, jika orang tua sayang kepada anaknya dengan sebenar benar sayang, maka setelah anak akan dan sudah memasuki fase tamyiz, latihlah sang anak untuk bekerja sendiri, makan sendiri, mandi sendiri, menyiapkan keperluan mereka sendiri. Cobalah merangsang mereka untuk mengambil keputusan sendiri. Contoh sederhananya adalah dengan metoda bertanya kepada mereka,"siang ini mau murojaah hapalan dulu atau tidur siang dulu?". Atau,"sabtu depan mau main ke taman atau ke toko buku?" dan seterusnya.
Praktekkan selagi dini, orang tua harus sabar jika sang anak masih belum sempurna mengerjakan sesuatu (namanya juga latihan), Insya Allah nanti terbiasa. Dengan itu, mereka terlatih untuk mandiri dan belajar mengambil keputusan sendiri.
Mengenai contoh yang kedua, lagi lagi sebenarnya adalah bagus untuk menerapkan itu. Akan tetapi cobalah berlatih untuk tidak selalu memberikan apa saja yang diminta anak. Walaupun orang tua sebenarnya memiliki uang yang banyak, tapi jika orang tua mencintai anaknya dengan sebenar benar cinta, maka orang tua harus melatih sang anak untuk menghadapi kehidupan nyata. Oleh karena ketika mereka sudah lepas dari kita sebab merantau untuk sekolah atau yang lainnya, mereka akan menemukan bahwa tidak selalu keinginan mereka itu terpenuhi seketika, kadang melalui tangisan perjuangan yang panjang bahkan kadang mereka tidak mendapatkannya sama sekali.
Jika orang tua membiasakan menanamkan Tauhid sejak dini, berlatih untuk menahan memberikan apa apa saja permintaan anak, dan seterusnya, maka mereka menghadapi hal di atas dengan ketangguhan dan kesabaran serta tidak berputus asa dari rahmat Allah Ta'ala.
Terakhir, tentang contoh ketiga. Sekali lagi, saya tidak menampik hal ini sebab jika orang tua mampu membiayai pendidikan anak setinggi tingginya kenapa tidak? Tapi, seperti yang sudah disebutkan di awal, kacamata syar'i lah yang dipakai. Ketika kita serius menyiapkan mereka agar mereka siap hidup di masa depan mereka, ada sebuah pertanyaan fundamental,"apakah orang tua sudah mempersiapkan sang anak bekal untuk kehidupan akhirat?" Jika orang tua cinta dengan sebenar benar cinta dan kasih sayang, maka seharusnya mereka lebih sibuk untuk mempersiapkan "masa depan" mereka di akhirat yaitu masa depan sesungguhnya. Orang tua bersama anak berusaha bersama agar mereka berhasil di masa depan sesungguhnya, yaitu bersama sama berkumpul di surga di kampung akhirat nanti.
Itulah hakikat cinta sejati, kecintaan tidak hanya untuk kepentingan di dunia, namun juga di akhirat. Perasaan yang harus terus dipupuk, dipelihara, dan diimplementasikan dalam kerangka syar'i.
No comments:
Post a Comment